Ulasan ringkas kali ini
mencoba mengangkat catatan mengenai foot print “tapak-tapak” budaya sasak yang
pernah melekat pada sosok gunung rinjani. Tapak-tapak budaya itu dapat
merupakan kepercayaan, mistis, perlakuan ritual, penghargaan bahkan pemahaman
yang kemudian dihujat orang sebagai khufarat dan ketahyulan. Oleh karenanya
manakala suatu umat terlampau bersemangat memberantas segala sesuatu yang
tahyul (khayali) itu maka tapak-tapak budaya itu menjadi terkikis pula.
Padahal dari
kepercayaan dan penghargaan terhadap nilai mistis orang lalu mengadakan
perawatan dan pemeliharaan. Penghargaan dan pemeliharaan ini berjalan secara
natural, ikhlas da keberanian berkorban.
Tak perlu ada peraturan
daerah, peraturan menteri, kepres atau konvensi PBB. Bahkan ketika itu tak
dibutuhkan ada LSM, Asosiasi, sukarelawan dan sejenisnya. Ketika nilai itu
sudah diobrak abrik, penghargaanpun luntur maka secara phisik alam gunung
rinjani menerima dera dan siksa pengerusakan. Upaya-upaya dengan style modern menjadi jatuh bangun
untuk menyelamatkan kelestariannya bahkan tak jarang yang menemui kegagalan
karena digerogoti oleh gaya kemoderenan itu sendiri.
Sekarang kita ungkap
catatan budaya gunung rinjani yang ada :
Bagian
Pertama :
Nama Rinjani
Pengetahuan tentang naskah kuno
sementara dapat menduga bahwa secara etimologis nama rinjani berasal dari kata
“Rara Rinjani” yang diringkas (dayasastra) rinjani-rinjani.
Rara adalah titel kebangsawanan jawa
yang sama maknanya dengan Dewi.
Anjani artinya “wanita-putri-ratu”.
Orang sasak tradisional sangat percaya
bahwa dipuncak gunung rinjani dewi
anjani bisa kita dapatkan pula pada etos Ramayana. Dewi anjani adalah Putri
Resi Gautama. Dewi anjani bersaudara dengan subali. Dewi anjani ini bertapa
telanjang ditengan sebuah danau suci karena menghajatkan putra yang sakti dan
abadi.
Ungkapan ini merupakan isyarat bahwa
orang sasak dimasa lalu sedikit banyak memahami kisah Ramayana.
Bagian
Kedua
Mitodologi Dewi Anjani
Adalah mythos Dewi Anjani dalam lontar
doyan nada yang menuturkan bahwa sang dewi inilah yang pertama meratakan bumi
sasak dari sebuah bumi vulkanis menjadi lahan pertanian.
Konon dia memiliki
burung pengais bercakar baja dan berpatuk malela burung ini mengais bumi,
menggaruk tebing menimbun lembah dan ngarai. Burung itu bernama “Beberi”.
Setelah daratan siap sang dewi mentransfer dua puluh pasang jin ningrat menjadi
manusia penghuni pertama. Para jin ada
yang mau dan ada yang menolak. Yang mau dibawah pimpinan Patih Sengan, yang
menolak dipimpin oleh patih Garigis. Ibu mereka bernama Dara Peri. Maka para
jin pembangkang inilah yang kemudian menjadi jin jahat. Ada yang menjadi Bakeq
(dilaut), Belata (dipohon), berhala (dibatu), Gutun Bumi (di tanah).
Pemujaan dan
penghargaan orang sasak terhadap Dewi Anjani sangat tinggi sehingga beliau
dijadikan inti mantra. Begitu pula kepercayaan akan jin baik jahat ini menjadi
bagian yang amat penting dalam ilmu pedukunan sasak.
Bagian
ketiga
Segara Muncar.
Segara Muncar adalah sebuah resort tak
terindra yang merupakan kompleks istana Dewi Anjani. Posisinya sekitar kawah
Rinjani. Resort ghaib ini menjadi lokasi para mistis untuk mendapatkan ilmu
tingkat tinggi. Sebutannya juga menjadi formula mantra sasak.
Bagian
Keempat.
Kamaliq dan Perumbaq.
Berkaitan dengan kepercayaan yang
dituduhkan sebagai bentuk dinamisme, sinkritisme, paganism, takhayul dan
khurafat itu masyarakat lama memelihara aneka media pemujaan serta memelihara
lokasi yang dianggap suci atau spesifik.
Ada kemaliq, gawah maliq, perumbaq,
kempu dan sejenisnya. Berjalan dengan pemberantasan segala sesuatu yang
bersifat takhayul terutama setelah tahun 1966 maka sarana-sarana ini menjadi
rusak. Bahkan pemberantasannya menjadi membabi buta sampai membakar naskah
lontar, pembongkaran batu penanda leluhur dan sejenisnya. Pohon pelindung mata
air juga tak luput dari aksi anti takhayul ini.
Bagian
Kelima
Gerakan anti takhayul
Evoria yang menghancurkan, gegap gempita
pemberantasan takhayul-khurafat tanpa metode dan jauh dari perilaku arif ini
nyata kemudian meninggalkan kerusakan harmoni.
Harmoni kepercayaan dan harmoni
lingkungan. Bila direnungkan secara sadar dan mendalam maka harus diakui bahwa
sampai hari ini belum ada konsep pelestarian alam yang lebih jitu dan
menyeluruh dari pada “konsep tahayul”. Semasa masyarakat belum faham masalah
science fungsi hutan, tanah dan bebatuan maka konsep takhayul ini telah
menyelamatkan alam dari berbagai kejahilan. Ketika takhayul diberantas secara
tergesa-gesa maka ramai-ramai orang merusak bumi sebagai “sang alim” yang tak
takut hantu, maka kacau balaulah segalanya.
Bagian
keenam
Bagaimana menyelamatkan Rinjani?
Berdasarkan susur galur kepercayaan yang
terungkap pada bagian terdahulu yang kemudian kita bandingkan dengan kondisi
riil Rinjani saat ini maka saya menganjurkan beberapa hal :
1.
Secara humanis dan demokratis biarkanlah
masyarakat memelihara kepercayaan aslinya.
2.
Rinjani sebaiknya dikelola dalam dua
jalur :
a. Jalur
murni yaitu berikan hak kepada masyarakat pendukungnya untuk merekontruksi dan merevitalisasi
sarana-sarana kepercayaannya.
b. Jalur
modern melalui pengorganisasian, perlindungan hokum, advokasi hubungan keluar
dan sejenisnya berkaitan dengan statusnya sebagai taman nasional
3.
Berikan hak masyarakat pemiliknya untuk
melakukan sanksi adat yang layak atau pelanggaran, pelecehan, pengerusakan,
pengotoran (lahir bathin) atas lokasi kepercayaan maupun rinjani pada umumnya.
4.
Tetapkan kawasan khusus wilayah “suci”
yang diberikan bantuan pemagaran rekontruksi atau penanda situs.
Kesimpulan
:
Pelestarian kawasan Taman Nasional
Rinjani tak dapat didekati dengan management modern saja tapi harus mampu
memberdayakan potensi asli. Pembicaraan ini harus dipisahkan dengan
doktrin-doktrin agama secara khusus (berdasarkan faham satu agama) tertentu
agar tidak menimbulkan pertentangan. Realitanya bumi ini dihuni berbagai umat
dengan berbagai kepercayaan dan perilaku tradisinya.
Damai manusia, damai
bumi, damai semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar